ANALISIS WACANA KRITIS SOSIAL DALAM TEKS MEDIA



A.      Pendahuluan
Mempelajari media merupakan tantangan yang menarik tanpa pernah habis dimakan waktu, bahkan cukup banyak penelitian sebelumnya yang berkutat pada permasalahan seputar media. Beberapa diantaranya mengangkat tema yang menarik, atau sudut pandang permasalahan yang berbeda. Akhirnya penulis menjatuhkan pilihan pada konstruksi wacana media dengan paradigma kritis.
Analisis Wacana Kritis media, merupakan bentuk kesimpulan dari sudut pandang yang penulis kemukakan mengenai media, yang bersentuhan dengan perihal analisis isi, analisis framing, wacana, maupun semiotika.dilihat dari wujud kekuasaan, bentuk hegemoni serta dampak idiologi dominan yang tersampaikan dalam teks. Namun penulis juga mulai memahami bahwa kemampuan masyarakat dalam memilah media serta mengartikan makna, menjadi semacam perisai yang membatasi terpaan-terpaan informasi dari berbagai media. Tentunya sebagai bagian dari pelaku akademik, penulis hanya berupaya memenuhi tuntutan dalam usaha untuk lebih memahami fungsi serta peran media, dan memperlihatkan wacana idiologi media kepada masyarakat sebagai bagian dari alur mediasi pembentukan realitas melalui teks berita.
Penulisan ini dimaksudkan sebagai salah satu referensi dalam penulisan karya ilmiah mengenai media yang mengarah pada paradigma kritis, dengan tujuan mengkritisi konstruksi wacana media yang selama ini menjadi wadah idealisme pelaku media.  Penulis berharap dapat lebih jauh melihat kekuasaan terhadap teks, dan menemukan konsep yang menarik perihal kekuatan media, serta mengungkap makna yang tersembunyi dengan pandangan kritis terhadap wacana media.
Munculnya analisis wacana, khususnya dalam bidang analisis teks media melahirkan berbagai varian analisis yang pada akhirnya memunculkan persinggungan antara model analisis yang satu dengan yang lain. Analisis model teks media versi Norman Fairclogh dan Teun A Van Dijk misalnya, keduanya menekankan analisis teks berdasarkan konteks sosial. Dalam versi Indonesia teori analisis teks media disadur cukup baik oleh Eryanto. Dalam buku Eryanto memaparkan berbagai kompilasi model analisis teks media dari berbagai perspektif yang dikemukakan Foulcault, Roger Fowler,  Theo van Leeuwen, Sara Mills, Teun A Van Dijk, dan Norman Fairclouch dengan contoh teks surat kabar Indonesia. Pemahaman perspektif teks media juga diteliti oleh Suroso yang memetakan empat macam perspektif media Indonesia yang pro masyarakat, negara, yang lain, dan netral. 

B.       Landasan Teori
Tiga Paradigma Analisis wacana  
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan berbagai pengertian. Dalam studi linguistic, wacana menunjuk suatu kesatuan bahasa yang lengkap, yang umumnya lebih besar dari kalimat, baik disampaikan secara lisan atau tertulis. Wacana adalah rangkaian kalimat yang serasi yang menghubungkan proporsi satu dan yang lain, kalimat satu dengan yang lain, membentuk satu kesatuan. Kesatuan bahasa itu bisa panjang, bisa pendek. Sebagaai sebuah teks, wacana bukan urutan kalimat yang tidak memmpunyai ikatan sesamanya, bukan kaliamat yang dideretkan begitu saja.
Analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa/pemakaian bahasa. Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang analisis wacana, kita perlu bertanya Bagaimana bahasa dipandang dalam analisis wacana?.
Dalam hal ini, A.S Hikam menyampaikan adanya tiga paradigma analisis yang digunakan untuk melihat bahasa. Ketiga paradigma analisis wacana ini yang akan mendapatkan porsi banyak untuk di jelaskan dalam tulisan ini selanjutnya.
Pandangan pertama diwakili oleh kaum Positivisme - Empiris. Penganut aliran ini melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek yang ada di luar dirinya. Pengalaman manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala aatau distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan menggunakan pernyataan-pernyataan yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu cirri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara ide/pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari pemahaman ini adalah oranng tidak perlu mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah sintaksis dan seemantik. Oleh karena itu, kebenaran sintaksis (tata bahasa) adalah bidang utama dari aliran positivisme tentang wacana.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, titik perhatian utama aliran positivisme didasarkan pada benar tidaknya bahasa itu secara gramatikal. Istilah yang sering disebut adalah kohesi dan koherensi. Wacana yang baik selalu mengandung kohesi dan koherensi di dalamnya. Kohesi merupakan keserasian hubungan antar unsur-unsur dalam wacana, sedangkan koherensi merupakan kepaduan wacana sehingga membawa ide tertenti yang dipahami oleh khalayak.
Pandangan kedua dalam analisis wacana adalah Konstruktivisme. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan positivisme/empirisme dalam analisis wacana yang memisahkan subyek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap bahwa subjek adalah aktor utama atau faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.
Dalam hal ini, mengutip A.S Hikam yang mengatakan bahwa, subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa yang dipahami dalam paradigma ini diatur dan dihidupkan dalam pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya dalah penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jatidiri dari sang pembicara.
Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis yang membongkar makna dan maksud-maksud tertentu. Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang memngemukakan suatu pernyataan.pengungkapan itu dilakukan diantaranya dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara.
Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ingin mengoreksi pandangan pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi ssecara historis maupun secara institusional. Seperti ditulis A.S Hikam, pandanga konstruktivisme masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang inhern dalam setiap wacana, yang pada gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-perilakunya.hal inilah yang melahirkan paradigma kritis.
Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran atau ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada pandangan konstruktivisme. Analisis wacana dalam paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikiran-pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial yang adal dalam masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si pembicara.
Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam setuap proses bahasa seperti, batasan-batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang dibicarakan.Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Karena memakai perspektif kritis, (paradigma) analisis wacana yang ketiga ini sering juga disebut Critical Discourse Analysis/CDA.

C.      Pembahasan
Tulisan ini ingin mendeskripsikan model analisis Wacana Teun A van Dijk yang dalam banyak hal diteruskan model analisisnya oleh Norman Fairclouch. Untuk memperkaya bahan analisis juga disinggung pemahaman wacana dan ideologi dalam pers  Roger Fowler, dengan kasus analisis surat kabar Indonesia pasca era reformasi.
Analisis Wacana Model Teun Van Dijk
Menurut Van Dijk, penelitian analisis wacana tidak cukup hanya didasarkan  pada analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi. Pemahaman produksi teks pada akhirnya akan memperoleh pengetahuan mengapa teks bisa demikian. Van dijk juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks-teks tertentu.
Pada rejim Soeharto misalnya konsolidasi kekuasaan dilakukan melalui bahasa dengan beberapa cara. Pertama, penghalusan konsep-konsep dan pengertian yang bersentuan dengan kekuasaan. Penghalusan ini untuk melenyapkan konsep yang membahayakan Orde Baru. Pemasyarakatan  kata masa bakti, persatuan dan kesatuan,  ketahanan nasional, rawan pangan, daerah tertinggal, pengentasan kemiskinan, negara hukum, dll. Rawan pangan lebih baik dari kelaparan dan masa bakti lebih baik dari masa jabatan. Kedua, memperkasar, bertujuan untuk menyudutkan kekuatan lain yang dapat mengancam kekuasaan. Pemroduksian kata-kata SARA, GPK, subfersif, bersih diri, ekstrim kanan, ekstrim kiri, golongan frustasi, OTB (organisasi Tanpa Bentuk), anti Pancasila. Kata-kata itu berdampak buruk pada golongan oposisi. Ketiga, penciptaan kata-kata yang bisa mengerem dan menurunkan emosi masyarakat. Kata-kata ini sering diambil dari leksikon bahasa Jawa, misalnya mendhem jero mikul dhuwur,  jer basuki mawa bea, lengser keprabon dan pemakian kata yang referensinya tidak jelas sperti demi kepentingan umum, mengencangkan ikat pinggang, dll. Keempat, penyeragaman istilah. Hal ini dilakukan oleh pejabat dan birokrat, misalnya SDSB bukan judi, darah pengacau halal hukumnya, siapa pun boleh mendirikan partai baru, dll. Kelima, eufemisme bahasa. Pemakaian kalimat “Keterlibatan 7 oknum Kopasus merupakan pil pahit” utang diganti dengan bantuan luar negeri, pelacur diganti dengan pekerja seks komersial, penjara menjadi lembaga pemasyarakatan, dst.
Wacana digambarkan oleh Van Dijk mempunyai tiga dimensi/bangunan yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis model van Dijk adalah menggabungkan tiga dimensi wacana tersebut  dalam satu kesatuan analisis. Dimensi teks yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana  yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari  proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan.  Sedangkan aspek konteks  mempelajari bangunan wacana  yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Analisis van Dijk menghubungkan analisis tekstual ke arah analisis yang komprehensif bagaimana teks diproduksi, baik dalam hubungannya  dengan individu wartawan dan masyarakat.

Representasi Peristiwa dalam Berita menurut Theo Van Leeuwen
Membicarakan sebuah makna tersirat dari sebuah berita tidak lepas dari bagaimana sebuah teks hadir atau dihadirkan menjadi sebuah kalimat. Pada berita cetak, suatu berita yang telah diamati oleh seorang wartawan kemudian direpresetasikan kedalam teks berita, dalam proses representasi berita yang berbentuk suatu kejadian tertentu menjadi susunan teks, dapat diperhatikan bagaimana seorang wartawan menyampaikan sebuah kenyataan, pembaca berita dapat memperhaikan bagaimana suatu kelompok mendominasi wacana dalam berita tersebut.
Mendominasi wacana yang dimaksudkan adalah, adanya kekuatan yang dimiliki oleh sebuah kelompok untuk memegang kendali penafsiran pembaca dari sebuah berita. Dominasi yang terjadi dalam teks berita berbentuk sebuah pencitraan media terhadap pelaku dan korban dalam sebuah berita. Misalnya, kaum buruh, tani, pengemis, anak jalanan adalah golongan yang meresahkan masyarakat. Atau demonstrasi mahasiswa yang marak bisa menjadi contoh, bahwa mahasiswa dihadirkan dengan image bahwa mereka adalah kelompok yang anarkis, sering merusak dan senang membuat rusuh. Segala bentuk pencitraan seperti itu dilakukan hanya dengan merepresentasikan suatu kejadiaan yang benar terjadi menjadi susunan teks dengan pilihan kata dan bentuk kalimat.
Dalam Analisis Wacana, Eriyanto menyampaikan bahwa salah satu agen terpenting dalam mendefinisikan kelompok adalah media. Lewat pemberitaan yang terus menerus disebarkan, media secara tidak langsung membentuk pemahaman dan kesadaran di kepaala khalayak mengenai sesuatu. Wacana yang dibuat oleh media itu bisa jadi melegitimasi suatu hal atau kelompok dan mendelegitimasi atau memarginalkan kelompok lain. Kita seringkali merasa adanya ketidak adilan dalam berita mengenai pemerkosaan terhadap wanita. Bagaimana pihak yang menjadi korban ini digambarkan secara buruk, sehingga khalayak tidak bersimpati dan justru lebih bersimpati kepada laki-laki yang menjadi pelaku.
Dalam kasus seperti ini, bahwa berita di media menyampaikan sebuah wacana tertentu. Theo van Leeuwen memperkenalkan sebuah model dalam analisis wacana, model analisis tersebut untuk mendeteksi atau mengetahui bagaimana sebuah kelompok hadir sebagai kelompok yang dimarginalkan.
Secara umum, analisis van Leeuwen menampilkan bagaimana pihak-pihak dan aktor (perorangan atau kelompok) ditampilkan dalam pemberitaan. Menurutnya, terdapat dua titik focus perhatian. Pertama, proses pengeluaran (exclusion) yaitu apakah dalam suatu teks berita ada kelompok atau aktor yang dikeluarkan dalam pemberitaan, yang dimaksudkan dengan pengeluaran seseorang atau aktor dalam pemberitaan adalah, perilaku menghilangkan atau menyamarkan pelaku/aktor dalam berita, sehingga dalam berita korbanlah yang menjadi peerhatian berita.
Proses pengeluaran ini secara tidak langsunng bisa mengubah pemahaman khalayak akan suatu isu dan melegitimasi posisi pemahaman tertentu. Katakanlah dalam berita mengenai “demonstrasi mahasiswa yang berlangsung ricuh sehingga polisi melepaskan tembakan, akhirnya seorang mahasiswa tewas karena tertembak”. Dari kejadian demonstrasi mahasiswa di atas, apakah pemberitaan kemudian mengeluarkan polisi dari pemberitaan, sehingga korban penembakan yang ditonjolkan dalam suatu berita, sehingga kesan yang hadir kemudian bahwa mahasiswa yang melakukan demonstrasi pantas mendapatkan tembakan hingga tewas.
Kedua adalah proses pemasukan (inclusion). Proses ini adalah lawan dari proses exclusion, proses ini berhubungan dengan pertanyaan bagaimana seseorang atau kelompok aktor dalam suatu kejadian dimassukkan atau direpresentasikan ke dalam sebuah berita. Baik exclusion maupun inclision, terdapat sebuah strategi wacana. Dengan menggunakan kata, kalimat, informasi atau susunan bentuk kalimat tertentu, cara bercerita tertentu, masing-masing kelompok dirempresentasikan ke dalam sebuah teks. Pada pembahasan selanjutnya. Akan dijelaskan lebih detai tentang bagaimana pola kerja exclusion dan inclusion dalam representasi aktor dalam berita.


Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough
Norman Fairclough dikenal dengan pemikirannya tentang analisis wacana kritis. Konsep yang ia bentuk menitikberatkan pada tiga level, pertama, setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk teks.  Kedua, praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita di dalam media.
Ketiga, praktik sosial-budaya menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai dan identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya. Pembahasan praktik sosial budaya meliputi tiga tingkatan Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi dan konteks situasinya Tingkat institusional, berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan.
Fairclough sebenarnya bukanlah akademisi ilmu komunikasi. Dia meminati masalah kajian kritis wacana dalam teks berita dimulai sejak tahun 1980-an. Dia melihat bagaimana penempatan dan fungsi bahasa dalam hubungan sosial khususnya dalam kekuatan dominan dan ideologi. Faiclough berpendapat bahwa analisis wacana kritis adalah, bagaimana bahasa menyebabkan kelompok sosial yang ada bertarung dan mengajukan ideologinya masing-masing. Konsep ini mengasumsikan dengan melihat praktik wacana bias jadi menampilkan efek sebuah kepercayaan (ideologis) artinya wacana dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas dimana perbedaan itu direpresentasikan dalam praktik sosial. Analisis Wacana melihat pemakaian bahasa tutur dan tulisan sebagai praktik sosial. Praktik sosial dalam analisis wacana dipandang menyebabkan hubungan yang saling berkaitan antara peristiwa yang bersifat melepaskan diri dari dari sebuah realitas, dan struktur sosial.
Dalam memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. Dikarenakan dalam sebuah teks tidak lepas akan kepentingan yang yang bersifat subjektif.
Didalam sebuah teks juga dibutuhkan penekanannya pada makna (Meaning) (lebih jauhdari interpretasi dengan kemampuan integratif, yaitu inderawi, daya piker dan akal budi) Artinya: Setelah kita mendapat sebuah teks yang telah ada dan kita juga telah mendapat sebuah gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah, maka kita langkah selanjutnya adalah kita memadukann kedua hal tersebut menjadi kesatuan yaitu dengan adanya teks tersebut kita memakai sebuah teori untuk membedahnya.
Kemudian Norman Fairclough mengklasifikasikan sebuah makna dalam analisis wacana sebagai berikut:
·       Translation (mengemukakan subtansi yang sama dengan media). Artinya: Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak. Tentu saja teks dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi tertentu kelas tertentu. Sedangkan sebagai seorang peneliti memulainya dengan membuat sampel yang sistematis dari isi media dalam berbagai kategori berdasarkan tujuan penelitian.
·       Interpreatation (berpegang pada materi yang ada, dicari latarbelakang, konteks agar dapat dikemukakan konsep yang lebih jelas). Artinya: Kita konsen terhadap satu pokok permasalahan supaya dalam menafsirkan sebuah teks tersebut kita bisa mendapat latar belakang dari masalah tersebut sehingga kemudian kita bisa menentukan sebuah konsep rumusan masalah untuk membedah masalah tersebut.
·       Ekstrapolasi (menekankan pada daya pikir untuk menangkap hal dibalik yang tersajikan). Artinya: kita harus memakai sebuah teori untuk bisa menganalisis masalah tersebut, karena degnan teori tersebut kita bisa dengan mudah menentukan isi dari teks yang ada
·       Meaning (lebih jauh dari interpretasi dengan kemampuan integrative, yaitu inderawi, daya piker dan akal budi). Artinya: Setelah kita mendapat sebuah teks yang telah ada dan kita juga telah mendapat sebuah gambarang tentang teori yang akan dipakai untuk membedah masalah, maka kita langkah selanjutnya adalah kita memadukann kedua hal tersebut menjadi kesatuan yaitu dengan adanya teks tersebut kita memakai sebuah teori untuk membedahnya.
Dan menurutnya dalam analisis wacana Norman Fairclough juga memberikan tingkatan, seperti sebagai berikut:
·       Analisis Mikrostruktur (Proses produksi): menganalisis teks dengan cermat dan fokus supaya dapat memperoleh data yang dapat menggambarkan representasi teks. Dan juga secara detail aspek yang dikejar dalam tingkat analisis ini adalah garis besar atau isi teks, lokasi, sikap dan tindakan tokoh tersebut dan seterusnya.
·       Analisis Mesostruktur (Proses interpretasi): terfokus pada dua aspek yaitu produksi teks dan konsumsi teks.
·       Analisis Makrostruktur (Proses wacana) terfokus pada fenomena dimana teks dibuat.
Dengan demikian, menurut Norman Fairclough untuk memahami wacana (naskah/teks) kita tak dapat melepaskan dari konteksnya. Untuk menemukan ”realitas” di balik teks kita memerlukan penelusuran atas konteks produksi teks, konsumsi teks, dan aspek sosial budaya yang mempengaruhi pembuatan teks. (Sumber: Analisis Wacana/ cetakan II Februari 2009, Eriyanto).

Pendekatan terhadap Fenomena Perspektif dalam Studi Wacana
Fenomena perspektif dapat dikaji dalam tiga pendekatan yaitu visi,  fokalisasi, dan empati. Visi adalah penekatan yang lebih mendasarkan diri pada bidang sosiologi politik dan mengaitkan kajian perspektif dengan ideologi. Fokalisasi merupakan pendekatan yang memasukkan teori naratif dalam analisisnya. Seorang narator dapat menjadi seorang individu lain yang telah atau sedang menyaksikan peristiwa. Pendekatan ini lazim digunakan dalam sastra. Wartawan pun dapat menggunakan pendekatan ini dalam menulis features berita    yang dapat mengungkapkan unsur emosi yang bersifat sugestif dan reflektif.. Pendekatan empati mendasarkan diri pada bidang psikolinguistik. Pembicara mengenalkan seseorang atau objek yang merupakan bagian dari peristiwa yang dideskripsikan dalam kalimat.
Pengkajian perspektif (kekuasan) dalam surat kabar Indonesia  dapat memanfaatkan pendekatan visi, bertujuan mengungkap aspek-aspek ideologi yang mendasari dan membentuk perspektif pemberitaan surat kabar di Indonesia. Mereproduksi pemikiran van Dijk tentang analisis wacana media, berikut dipaparkan  strategi penyajian informasi (SPI) dan bentuk-bentuk ekspresi bahasa.
1. Strategi Penyajian Informasi
Dalam wacana tulis atau teks, perspektif dibangun sejak penulis memutuskan apa yang dipilih sebagai tema dalam tulisannya. Tema merupakan apa yang dipakai penulis sebagai titik tolak permulan tulisannya. Pemilihan tema tertentu sebagai titik tolak pembicaraan akan mendasari pengembangan tulisannya lebih lanjut dan membawa konsekuensi pada masuknya informasi-informasi tertentu, baik berupa keadaan, kejadian, atau peristiwa serta partisipan-partisipan yang relevan.
Selain pilihan tema, perspektif juga dibangun melalui pemilihan judul.  Judul wacana berbeda dengan topik, judul dalam hal ini berfungsi sebagai upaya tematisasi. Upaya tematisasi menggunakan judul ini selain menjadi titik tolak pengembangan mengenai informasi yang relevan dengan tulisan, juga memiliki titik tolak membatasi tafsiran makna dari informasi yang dikembangkan dalam isi berita. Lima judul berita tentang sekolah berprestasi dan ujian nasional (UN)  ditulis media yang sama berikut ini memiliki perspektif berbeda.
(1)  UN Pemetaan Mutu yang Penuh Kejutan (Kompas, 10/4/07)
(2)  Mereka Punya Kiat “Menaklukkan” UN (Kompas, 11/4/07)
(3) Ujian Nasional dan Kultur Akademik (Kompas, 12/4/07)
(4) Dari Bangil untuk Indonesia …(11/4/07)
(5) Ujian Nasional
“Algojo Itu Telah Datang… (Kompas Yogya, 18/4/07)
Berdasar ke lima judul berita tersebut wartawan kompas mengajak pembaca mentertawakan kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan penyelenggaraan UN yang kurang jelas parameter mutunya (1) kurang tepat dalam proses ujiannya, (2) salah dalam penilaian proses belajar, (3) dan parameter kemajuan sekolah dibandingkan sekolah lain, (4) monster yang menakutkan siswa, (5) Demikian juga dalam headline tentang kekerasan di IPDN, wartawan menulis judul berikut dengan pespektif yang berbeda.
(6) IPDN Tunda Terima Praja Baru
      I Nyoman Sumaryadi Dilaporkan ke Mabes Polri (Kompas 10/4/07)
(7)  DPR Harus Ikut Selidiki IPDN
       Penonaktifan Inu Kencana sebagai Pengajar Dipertanyakan IPDN  (Kompas 11/4/07)
(8)  DPRD Sulut Minta Pembubaran IPDN
                          Formalin Kaburkan Penyebab Kematian Cliff Muntu (Kompas, 11/4/07)     
                   (9)  IPDN Harus Disesuaikan UU
     (10) Terpidana Kasus Kematian Wahyu Hidayat Belum Dieksekusi. (Kompas, 12/4/07)
Berdasarkan ke empat judul tersebut pemerintah menghentikan tidak menerima praja baru 2007/2008 menyusul kematian Cliff Muntu akibat kekerasan seniornya, DPR harus segera turun tangan menyelidiki kekerasan di IPDN, apalagi seorang dosen yang kritis dinonaktifkan (7), 17 anggota DPRD sulut meminta kepada Depdagri membubarkan IPDN, menyusul kematian Cliff Muntu, praja asal Sulut (8), dan Depdiknas mendorong IPDN dan lembaga pendidikan lain di bawah departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen menyesuaikan diri dengan ketentuan dalam Undang-undang No 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional (9)  Sedanga data (10) adalah ketakutan siswa dalam menyongsong Unas.   
2. Bentuk Bentuk Ekspresi Bahasa
Perspektif dalam produksi bahasa ternyata tidak hanya dapat diamati keberadaannya dalam struktur wacana tetapi dapat juga diamati dalam struktur yang lebih rendah dari wacana. Perspektif suatu ideologi dipengaruhi secara sistematis pada pemilihan bentuk-bentuk ekspresi linguistik baik pada tatanan leksikal (kosakata), sintaksis (kalimat) dan wacana seperti pemakaian kosakata, sistem ketransitifan, struktur nominalisasi, modalitas, tindak tutur, metafora, dan struktur informasi.
a. Kosakata
Pemakaian kosakata bukan semata persoalan teknis tetapi sebagai praktik ideologi. Pilihan kata dalam suatu teks menandai secara sosial dan ideologis bidang pengalaman yang berbeda  dari penulisanya baik berupa nilai eksperiental, nilai relasional, dan nilai ekspresif. Nilai eksperiental berkaitan dengan pengetahuan dan keyakinan yang dibawakan oleh kata-kata tersebut. Nilai rasional berkaitan dengan dengan hubungan-hubungan sosial yang tercipta oleh kata tersebut. Nilai ekspresif berkaitan dengan pemilihan atau evaluasi tentang sesuatu yang dicerminkan oleh kata tersebut. Perkosaan dapat dimaknai “memperkosa, meniduri, menindih, menggagahi, menodai, memerawani, dst”. Pembunuhan dapat diganti dengan “digebug”,  “dilibas”, “diamankan dan “disukabumikan” 
b. Sistem Ketransitifan
       Menurut Fowler bahasa dipandang sebagai model  yang mengubungkan antara objek dan peristiwa. Terdapat tiga model  transitifitas yaitu transitif, intransitive dan relasional. Dalam model transitif berhubungan dengan proses melihat suatu tindakan dan bagian-bagian lain sebagai akibat suatu tindakan. “Polisi memukul mahasiswa” adalah bentuk transitif. Polisi sebagai aktor yang menyebabkan suatu tindakan melakukan sesuatu “memukul”. Model intransitif seorang aktor dihubungkan dengan suatu proses tetapi tanpa menjelaskan atau menggmbarkan akibat atau objek yang dikenai. “Polisi menembak”, “Polisi mengamankan”. Sedangkan model relasional menggambarkan sama-sama kata benda. “Korban Polisi itu adalah seorang ayah dari seorang balita”. Hubungan juga bersifat atributi, benda dihubungkan dengan kata sifat untuk menunjukkan kualitas atau penilaian tertentu. Misalnya “Polisi itu sangat garang”  
Bentuk transitif memasukkan suatu pandangan dan sikap penulis yang berbeda tentang peristiwa yang dilaporkan, Berikut disajikan klausa yang memiliki berbagai perspektif.
(10) Polisi menembak mati enam demonstran
            (11) Enam demosntran ditembak mati
            (12) Enam demosntan tewas
            (13) “Enam demosntran ditembak mati” Ujar saksi mata
            (14) Saksi mata melihat enam demosntran mati tertembak
            (15) Enam mahasiswa yang tewas itu diantaranya Elang Mulya
                    Lesmana, Hendriawan Sie, dan Hafidin R… 
c. Struktur Nominalisasi
Nominalisasi adalah transformasi sintaksis secara radikal dalam suatu klausa, yang memiliki konsekuensi struktural yang luas dan memberikan kesempatan menyampaikan ideologi. Dalam bahasa Indonesia predikat verba direalisasikan secara sintaksis  menjadi nomina. Salah satunya dilakukan dengan memberi imbuhan                “pe-an”. Kata memperkosa menjadi perkosan, membunuh menjadi pembunuhan, menembak menjadi penembakan.   Contoh berikut ini memiliki perspektif berbeda:
(16) Seorang ayah memperkosa anak gadisnya sendiri yang berusia 12 tahun.
(17) Perkosaan menimpa anak gadis yang beru berumur 12 tahun.
(18) Polisi menembak secara membabi-buta dalam insiden Semanggi
(19) Penembakan secara membabi buta terjadi dalam insiden Semanggi.  
d. Modalitas
Modalitas diartikan sebagai komentar atau sikap yang berasal dari teks, baik secara eksplisit atau implisit diberikan oleh penulis terhadap apa yang dilaporkan, yakni keadaan, peristiwa, dan tindakan. Modalitas memiliki peluang besar untuk digunakan jurnalis dalam membangun perspektif pemberitaan yang mempengaruhi opini pembaca. Dengan modalitas, penulis dapat memasukkan pandangan pribadi atau institusinya ke dalam proposisi yang ditulisnya melalui pilihan modalitas. Modalitas sebagai komentar atau sikap penulis yang tertuang dalam teks dibagi menjadi empat yaitu (1) kebenaran, (2) keharusan, (3) izin, (4) keinginan. Contoh berikut modalitas yang menyiratkan pespektif pemberitaan.
(20) Tommy Soeharto harus ditangkap
(21) Tommy Soeharto seharusnya ditangkap
(22) Tommy Soeharto bisa ditangkap
(23) Tommy Soeharto mungkin ditangkap
(24) Tommy Soeharto tidak akan tertangkap
(25) Tindakan penangkapan Tommy Soeharto dinilai sangat tepat
Pemakaian modalitas harus, seharusnya, dan sangat tepat pada (20), (21),              dan (25) menunjukkan dukungan tindakan yang tercermin dalam proposisi. Sementara (22) dan (23) memperlihatkan sikap netral bila dibandingkan dengan  (20), (22) dan (25)
e. Tindak Tutur
Bentuk ekspresi bahasa yang dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan perspektif adalah elemen-elemen interpersonal seperti tindak tutur (Speech acts). Pandangan yang melandasi tindak tutur, jika orang mengatakan sesuatu, orang akan melakukan sesuatu untuk tuturan itu. Hal itu merupakan aspek dalam fungsi interpersonal bahasa.  Contoh (26) dan (27) berikut dapat menjelaskan tindak tutur yang dapat menimbulkan perspektif berbeda.  (26) Ada unjuk rasa, (27) Kongres Umat Islam merekomendasikan presiden dan wapres mendatang harus pria, beriman, dan bertaqwa (Jawa Pos, 7/11/8).    
Pada tuturan (26) dituturkan oleh seorang polisi, tidak sekedar menginformasikan sesuatu,tetapi juga berfungsi sebagai perintah ke lokasi untuk pengamanan.  Hal itu berbeda maknanya jika dituturkan oleh mahasiswa di kampus, ujaran itu bukan informasi tetapi ajakan. Demikian pula dalam (27), bagi mereka yang mengikuti  perkembangan pasca Pemilu 1999, maka dengan cepat  dapat menangkap bahwa ilokusi yang tersirat yang menghambat megawati Soekarno Putri maju menjadi presiden. 
f. Metafora
Menurut Aristoteles seperti yang dikutib Abdul Wahab,  metafora merupakan ungkapan kebahasaan yang menyatakan  uangkapan kebahasaan yang menyatakan hal-hal yang bersifat umum untuk hal-hal yang bersifat khusus dan sebaliknya. Metafora digunakan  sebagai ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak bisa dijangkau secara langsung  dari lambang karena makna yang dimaksud terdapat pada predikasi ungkapan kebahasaan itu. Artinya, metafora  merupakan pemahaman pengalaman sejenis hal yang dimaksudkan untuk perihal lain. Metafora digunakan jurnalis untuk membangun perspektif dalam surat kabar. Berikut adalah contoh metafora yang dapat menimbulkan perspektif berbeda
(28) Gelombang mahasiswa mendatangi Gedung DPR Senayan mendesak agar anggota dewan ikut mengusut 4 mahaiswa yang ditembak di Universita Trisakti
(29)  Ibarat pemain sepakbola, saat ini penyelesaian utang PT Garuda Indonesia sduah memasuki injury time, tinggal menunggu peluit panjang.
Metaforik gelombang untuk menggambarkan laut yang bergulung-gulung dan menakutkan (28) metaforik injury time menggambarkan sedikitnya waktu PT Garuda Indonesia untuk melunasi utang.
 (30) Debitor Nakal Perlu Dicekal
  (31) Amin, Gus Dur, Hamzah, dan Nur Mahmudi Bertemu
         Mereka Bahas “Buah Simalakama” Mega
Kata nakal dalam (30) memiliki adanya tiga kesamaan sifat nakal yaitu (1) masih kanak-kanak, sehingga kurang mampu membedakan mana yang benar dan mana yan salah, (2) sudah tahu aturan yang sudah disepakati tetapi tetap saja melanggar,  (3) sudah dinasihati tetapi tidak memperbaiki. Demikain dengan “buah simalakama”, jika Megawati terpilih menjadi presiden keadaan belum tentu bertambah baik. Sebaliknya jika Megawati tidak terpilih akan berpotensi buruk. Bagi partai berbasis massa Islam  perempuan memang tidak diijinkan menjadi pemimpin.
Kita perlu memahami praktik diskursif dari komunitas pemakai bahasa yang disebut sebagai order of discourse.  Ketika menganalisis teks berita Sebelum dimensi tersebut dianalisis perlu melihat dulu oder of discourse, apakah bentuknya hardnews, features, artikel, atau editorial. Ini akan membantu peneliti  untuk memaknai teks, produksi teks, dan konteks sosisal dari teks yang dihasilkan. Order of discourse secara sederhana  seperti layaknya pakaian: pakaian di kantor berbeda dengan pakaian tidur dan pakaian renang. Pemakaian bahasa menyesuaikan dengan praktik diskursif di tempat mana ia berdada, ia tidak bebas memakai bahasa. 
Paparan berikut ini merupakan contoh  manifestasi perspektif pemberitaan surat kabar Indonesia dalam bentuk ekspresi bahasa. Data diambil dari berita media pasca reformasi, Mei-Juli 1999, satu tahun runtuhnya rejim Soeharto.
Pilihan Kata
Berikut dicontohkan pilihan kata tentang “penyelidikan harta mantan Presiden Soeharto Rp 120 triliun di Bank Swiss
(32)   Pakar hukum pidana dari Univesitas Gadjah Mada  Yogyakarta, Prof. Dr. Bambang Purnomo, S.H. menilai langkah Habibie mengirim Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman ke Swiss dan Austria untuk menyelidiki kebenaran harta Soeharto tidak akan efektif karena diumumkan secara terbuka.
(33)   Ketua Gempita (Gerakan Peduli Harta Negara_ Dr. Albert Hasibuan, S.H. merasa pesimis pemerintah sekarang bisa mengusut dan mengadili mantan Presiden Soeharto.
(34)   Berbagai kalangan pesimis, dengan hasil yang bakal dicapai oleh Tim yang dipimpin oleh Jaksa Agung Andi Ghalib yang akan berangkat ke Swiss dan Austria.
(35)   Pesimisme seperti itu juga dikemukakan oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR-RI Syaiful Anar Hussein
(36)   Di Ujung Pandang , Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais menyatakan tidak percaya upaya Muladi-Ghalib ke Austria dan Swiss untuk melacak  kekayaan Soeharto dapat membuahkan hasil
(37)   Perjalanan Andi Ghalib dan Muladi ke Swiss dan Austria adalah sandiwara politik dan hampir tidak ada maknanya.
(38)   Upaya tesebut hanya sia-sia dan merupakan lelucon politik selama Soeharto belum dijadikan tesangka) 
Perbedaan pengalaman para wartawan atau surat kabarnya tentang “penyelidikan harta Soeharto ke Swiss dan Austria oleh Muladi dan Ghalib” secara jelas diwujudkan dalam enam pilihan kata tidak akan efektif, merasa pesimis, pesimisme, tidak percaya, sandiwara politik, dan hanya sia-sia.

Struktur Informasi
Pengaturan struktur informasi atau organisasi isi proposisi dalam kalimat atas informasi latar dan informasi baru dapat dipergunakan menandai perspektif pemberitaan. Perspektif pemberitaan akan telihat dari memilihan bagian proposisi tertentu sebagai informasi baru dan bagian proposisi lain sebagai informasi latar. Berikut contoh fenomena pengaturan informasi.
(39)   Sebelum bentrok sebenarnya sempat dilakukan negosiasi dengan tawaran 50 wakil PRD berdialog dengan KPU di ruang sidang, dengan catatan yang lain menunggu di jalan.
(40)   Sebelum terjadi bentrokan, aparat keamanan yang menjaga pintu masuk kantor KPU di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, sempat membiarkan pengunjuk rasa dengan atribut PRD lengkap di sekujur tubuh mereka  membaswakan orasi 50 menit..
Kedua proporsisi di atas menginformasikan tentang bentrokan antara PRD dengan aparat kepolisian di KPU. Perbedaan itu tampak dalam proposisi pengisi informasi latar baru. Jika disederhanakan , struktur proposisi kedua data (39) dan (40) adalah sebagai berikut.
(39a)    Bentrok PRD dan polisi—negosiasi PRD dan polisi, 50 perwakilan PRD bertemu wakil KPU—bentrok PRD dan Polisi 28 luka-luka .
(40a)    Bentrok  PRD dan Polisi—PRD dibiarkan polisi berorasi 50 menit—aparat keamanan membubarkan orsi PRD—bentrok polisi dengan PRD 28 luka-luka.
Pada kedua data tersebut yang ditulis dengan huruf miring adalah data informasi baru dan yang ditulis dengan huruf tegak adalah informasi latar. Untuk mendukung analisis ini, berikut disajikan kalimat yang mendahului kedua kalima tersebut.
(41)   Pengamat kepolisian Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. menyatakan, insiden penembakan massa PRD oleh aparat keamanan  justru bertepatan dengan peringatan hari Bhayangkara makin memperburuk momentum tersebut
(42)   Demontrasi fanatik sekitar 500 massa Partai Rakyat Demokratik (PRD) di depan Gedung KPU, kemarin berubah berdarah.
Dari struktur proposisi pada data (39) dan konteks data sebelumnya (41)  terlihat bahwa proposisi Demo PRD merupakan informasi latar.Kedua informasi itu dapat ditemukan rujukannya dalam data  (41) yakni penembakan massa PRD pada hari Bhayangkara makin memperburuk citra polisi. Sementara itu, proposisi demonstrasi fanatik sekira 500 massa PRD berubah berdarah tidak ditemukan dalam rujukannya. Perbedaan Proposisi pengisi informasi latar baru dapat dilihat dalam tabel berikut.
Data
Informasi Latar
Informasi baru
39
Bentrok di KPU antara PRD dan Polisi
Negosiasi 50 perwakilan PRD berdialog dengan KPU
40
Bentrok di KPU antara PRD dan Polisi
Polisi membiarkan PRD berorasi 50 menit

Dari tabel tesebut dapat disimpulkan bahwa proposisi yang mengisi informasi latar sama yaitu Bentrok di KPU antara PRD dan Polisi, namun informasi baru yang dimunculkan  oleh wartawan berbeda yaitru Negosiasi 50 perwakilan PRD berdialog dengan anggota KPU (Suara Pembaruan) dan Polisi membiarkan PRD berorasi 50 menit  (Media Indonesia).
Berdasarkan struktur dan konteks kedua data, serta pra-anggapan masing-masing pengisi informasi latar dan informasi baru disimpulkan bahwa surat kabar Suara Pembaruan pro masyarakat. Seharusnya polisi tidak perlu bentrok dengan PRD, apalagi dengan menembak, menendang, memukul,dan menginjak-injak.

D.      Penutup
 Analisis wacana berdasarkan perspektif sosiokultural pada dasarnya menggunakan pola analisis teks, preses produksi teks, dan konteks. Analisis teks digunakan untuk melihat struktur teksnyan untuk memahami struktur kata,  kalimat, dan makna. Pada langkah selanjutnya penganalisis memahami proses produksi teks dengan menganalisis struktur tema dan konteks sosial budaya teks itu dihasilkan.
      Baik van Dijk maupun Fairclouch masih sepakat memahami wacana dari teks. Namun keduanya  masih melengkapi pemahaman teks itu dengan memahami kognisi sosial dan konteks (van Dijk) dan proses produksi dan proses interpretasi bedasarkan konteks sosial budaya.
      Dalam hubungannya dengan aspek produksi kekerasan oleh media sangat tergantung bagaimana teks tersebut dikonstruksi oleh orang-orang di belakangnya berkait dengan sistem politik, ekonomi, dan struktur budaya media.
Sekreatif apa pun, manusia sebagai “diri’ merupakan pencipta makna dalam bahasa atau karya seni. Manusia tidak hanya subjek perajut makna kata dan makna estetika, tetapi pada saat bersamaan, distrukturkan oleh sistem tanda atau kode bahasa yang ada. Artinya, manusia dikonstruksi oleh kode bahasa dan ia harus patuh mengikuti kode tanda ini bila mau berkomunikasi dalam wacana dengan sesamanya.
Dengan kata lain, diri manusia dihadapkan pada kode-kode bahasa yang merupakan konsensus-konsensus dan konvensi bersama masyarakat pengguna bahasa mengenai makna kata, nuansa bahasa yang dalam sistem tanda dirumuskan menjadi semiotika. Kemudian, dalam perkembangan wacana yang dinamis, kode tanda bahasa yang diaksarakan dan menjadi simbol-simbol yang lebih luas dari cakupan bahasa sementara ini disepakati sebagai teks. Di sinilah letak pentingnya memahami dan menangkap kode bahasa dan artinya dari teks melalui dialog-dialog bukan hirarkis atau dikotomis dua posisi (oposisi biner) tetapi antar teks (intertextuality).
Untuk memahami kode bahasa dalam menangkap makna teks itu, ilmu menafsirkan teks yaitu hermeneutika diluaskan dari teks eksegese (menafsir teks-teks kitab suci) menjadi hermeneutika tekstual antar teks berkat jasa Dilthey dan tokoh Gadamer---yang berutang budi pada Martin Heidegger lantaran bahasa eksistensi meng-ada manusia sebagai Dasein dalam ruang dan waktu harus diperbarui agar manusia menjadi sang pendengar Sabda dan sang pencipta bahasa.
Hermeneutika teks dalam konteks diri manusia dengan relasi sosialnya, dan dalam relasi berbahasa dan berelasi sistem tanda itulah dirumuskan “siapa aku atau diri ini dan siapa diri yang lain atau ‘the other’ (alterity) itu?
Bila tafsirannya “terlalu menyempit” pada identitas diri secara relasi politis yang muncul hanyalah keramaian wacana-wacana politik identitas dalam pidator retorik tanpa studi penafsiran-penafsiran teks yang mendalam apalagi antar teks.
Namun, kode bahasa yang digunakan secara kreatif untuk bersastra tekstual tertulis bisa amat memperjuangkan pemuliaan diri manusia merdeka, egaliter Indonesia melawan seluruh konstruksi-konstruksi kultur yang menjajah, feodal dan memperbudak.

Daftar Pustaka

Brown, Gillian and Yule, George. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambride University Press.

Eryanto.  2001. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis. New York: Longman Publishing.
Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. New York: Arnold.

Fowler, Roger. 1991. Language in the News: Discourse and Ideology in the Press London: Routledge.

Halliday, M.A.K, and Hassan, R. 1985. Language, Context and Text. Geolong Victoria: Deakin University Press.

Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik (Terj. MDD Oka). Jakarta: UI Press.

Van Dijk, Teun A (ed). 1985. “Structures of  News in the Press” Discourse and Communication New Approachs to the Analysis of Mass Media Discourse and Communication. New York: Walter de Gruyter.

Renkema, Jan, 1993. Discourse Studies: An Introductory Texbook. Amsterdam: John Benjamin Publising Company.

Suroso. 2001. ”Bahasa Propaganda Pers Rejim Orde Baru” dalam Menuju Pers Demokratis. Yogyakarta: LSIP.

Suroso, 2002. Bahasa Jurnalistik Perspektif Berita Utama Politik dalam Surat Kabar Indonesia pada Awal Reformasi. Jakarta: UNJ.

Van Dijk, Teun A (ed). 1985. “Structures of  News in the Press” Discourse and Communication New Approachs to the Analysis of Mass Media Discourse and Communication. New York: Walter de Gruyter.

Wahab, Abdul. 1995. Isu Linguistik dan Pengajaran Bahasa dan Sastra. Surabaya: Airlangga University Press.