MENGAKRABI SASTRA UNTUK MENGEMBANGKAN DAYA NALAR DALAM PENCIPTAAN KARYA SASTRA


oleh: Diana Silaswati     

Pendahuluan
Karya sastra sebagai salah satu media pembelajaran bahasa Indonesia mempunyai peran yang cukup besar dalam menyampaikan semangat berekspresi. Memahami karya sastra menjadi salah satu kompetensi yang harus dicapai siswa dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, selain kebahasaan. Dalam buku teks Bahasa Indonesia, karya sastra menjadi contoh bacaan yang wajib dibaca siswa. Dengan demikian, karya sastra atau kutipan karya sastra serta kalimat-kalimat yang terkandung di dalamnya, dapat dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan semangat berekspresi kepada generasi penerus bangsa melalui jalur formal.
Bahasa (sebagai medium sastra) berkorelasi positif dengan penalaran dan pikiran siswa. Tentang hubungan bahasa dan pikiran ini memang telah banyak diteliti oleh para pakar, salah satunya adalah yang dilakukan oleh Sapir dan Whorf, yang kemudian terkenal dengan hipotesis Sapir-Whorf, yaitu bahwa bahasa menentukan pikiran. Nalar dan bahasa (sastra) merupakan dua hal yang tak mungkin dipisahkan. Penalaran tak mungkin tanpa menggunakan bahasa, sebaliknya bahasa muncul (digunakan) dalam bentuk-bentuk yang sangat logis atau sesuai dengan nalar. Oleh karena itu, sangatlah penting segi penalaran ditanamkan dalam pembelajaran bahasa dan sastra. Penekanan pada penalaran harus ditampakkan secara jelas dalam cara-cara penyajian yang sangat terarah dan terfokus, melalui suatu lingkaran proses bergaul dengan sastra yaitu penikmatan (apresiasi) terhadap karya sastra. Siswa diajak berdiskusi mengenai berbagai aspek karya sastra, dari unsur-unsur intrinsik sampai unsur-unsur ekstrinsik karya sastra.

Realitas Daya Nalar Siswa dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah
Dalam kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia di Sekolah, siswa-siswa tidak diberikan pelajaran sastra secara dominan, dan kalaupun diberikan hanya terbatas pada pengetahuan sastranya saja, dan bukan pada apresiasinya. Akibatnya siswa kurang bahkan tidak berminat membaca karya-karya sastra. Padahal dengan  membaca karya sastra, siswa dapat menggali nilai-nilai sosial, kebudayaan, agama, dan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat mengantarkan siswa menuju kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) hidup. Selain itu dengan membaca karya sastra, siswa dapat mengembangkan daya nalarnya. Menurut Tarigan (1995;11), Sastra merupakan salah satu sarana untuk merangsang serta menunjang perkembangan kognitif atau penalaran. Hal ini juga diakui oleh Sumardjo (1995; 31), dimana dinyatakan bahwa pembelajaran sastra (apresiasi) adalah salah satu sarana pengembangan intelektual siswa. Pembelajaran sastra di sekolah selama ini tampaknya memang masih sangat lemah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya minat baca dan lemahnya kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Lemahnya pembelajaran sastra di sekolah sebagaimana juga dikeluhkan kalangan sastrawan dapat dilacak dari beberapa segi. komitmen pemerintah terlihat kurang serius. Seperti terlihat pada kurikulum Bahasa dan Sastra Indonesia, porsi pembelajaran sastra sangat minim dibanding pembelajaran bahasa.
Pembinaan kecakapan berfikir atau daya nalar selama ini sering dianggap hanya dapat dilakukan dalam bidang-bidang tertentu seperti matematika atau fisika. Singkatnya, pengembangan daya nalar dianggap bukan bagian garapan pembelajaran sastra. Pendapat seperti ini tentulah sangat keliru, sebab pengembangan daya nalar termasuk di antaranya adalah proses interpretasi, yang adalah bagian dari aktivitas pembelajaran sastra. Jadi, walaupun benar bahwa pelajaran matematika itu menuntut proses berfikir tepat, logis serta terkendali, tapi hendaknya juga disadari bahwa bukan matematika saja yang menuntut proses berpikir demikian.
Dewasa ini baik di negara berkembang maupun di negara maju banyak diterapkan metode-metode logis dan rasional untuk memecahkan masalah-masalah di luar jangkauan matematika. Menurut Moody (1971), proses berfikir logis adalah bagian dari penalaran, banyak ditentukan oleh hal-hal seperti ketepatan pengertian, ketepatan interpretasi kebahasaan, klasifikasi dan pengelompokan data. Dijelaskannya, bahwa pembelajaran sastra akan sangat membantu para siswa melakukan latihan dalam memecahkan masalah-masalah berfikir logis itu, karena pembelajaran sastra juga meliputi kecakapan-kecakapan pilihan seperti dugaan, kebiasaan, tradisi, dorongan, dan sebagainya. Tentu saja, siswa di sekolah tidak dapat langsung diharapkan mempertanggung-jawabkan pemecahan masalah yang meliputi seluruh proses pemikiran sebagaimana disebutkan oleh Moody. Akan tetapi, sejak awal para guru sastra hendaknya melatih mereka memahami fakta-fakta, membedakan mana yang pasti dan mana yang dugaan, memberikan bukti tentang suatu pendapat, serta mengenal metode argumentasi yang betul dan yang sesat dan sebagainya.
Piaget menyatakan, bahwa remaja yang berusia sekitar 16-19 tahun, berada dalam tingkat perkembangan yang disebut tahap operasi formal, suatu tahap perkembangan kognitif (daya nalar) di mana struktur kognitif anak mencapai tingkat perkembangan paling besar dan anak menjadi cakap untuk mengaplikasikan logikanya pada semua persoalan. Dapat dikatakan bahwa pengalaman-pengalaman sastra merupakan salah satu sarana untuk merangsang serta menunjang perkembangan kognitif atau penalaran, menurut Tarigan, bahasa berhubungan erat dengan penalaran dan pikiran. Dikatakannya, bahwa kian terampil berbahasa kian sistematis pula cara mereka berpikir. Itulah sebabnya, rancangan pembelajaran bahasa (sastra) harus berfokus dan diorientasikan sebagai sarana pengembangan penalaran.

Pengembangan Daya Nalar melalui Karya Sastra.
Akibat dari kondisi pembelajaran sastra sebagaimana diuraikan di atas, mengakibatkan siswa kurang terlibat dalam proses berpikir (bernalar) secara bebas. Artinya, siswa tidak dilibatkan secara aktif dalam menggunakan daya nalarnya. Sedangkan, pembelajaran sastra pada dasarnya harus lebih melibatkan siswa secara aktif dalam proses-proses berpikir logis. Langkah yang dapat ditempuh, agar siswa dapat secara terbuka terlibat dalam proses pembelajaran yang memungkinkan daya nalar mereka berkembang melalui sarana sastra adalah melalui penerapan suatu strategi pembelajaran dengan prosedur-prosedur yang sistematis dan konsisten.
Perlu perubahan paradigma pembelajaran sastra di sekolah, yaitu pembelajaran sastra yang mencerdaskan dan membuka peluang bagi pengembangan kreativitas penalaran siswa. Misalnya, penerapan multitafsir terhadap karya sastra, bukan monotafsir. Sebab dengan menerapkan multitafsir maka kreativitas berpikir siswa dalam rangka pengembangan daya nalar untuk mengapresiasi sastra akan semakin berkembang.
Sastra menawarkan ruang apresiasi, ekspresi, dan kreasi dengan berbagai kemungkinan penafsiran, perenungan, dan pemaknaan. Oleh karena itu, upaya mengakrabi sastra perlu dilakukan sejak dini. Persoalannya sekarang, aktivitas apa saja yang perlu dilakukan untuk mengakrabi sastra? Paling tidak, ada tiga aktivitas bersastra yang bisa dilakukan.
Pertama, aktivitas apresiasi. Aktivitas ini bisa dilakukan dengan memperbanyak membaca karya sastra, baik prosa maupun puisi. Dengan banyak membaca karya sastra dalam berbagai genre (bentuk), pengalaman batin dan rohaniah kita akan terasupi oleh berbagai macam nilai yang mampu menyuburkan nurani kita. Ini artinya, secara tidak langsung, karya sastra akan mampu membangun basis semakin banyak membaca dan mengapresiasi sastra, semakin banyak menerima asupan gizi batin, sehingga kita terangsang untuk menjadi manusia yang responsif, kreatif dan imajinatif.
Kedua, aktivitas berekspresi. Kegiatan berekspresi termasuk salah satu kegiatan mengakrabi sastra yang bisa dilakukan dengan mengekspresikan atau mengungkapkan teks sastra ke dalam bentuk pembacaan dan permainan peran. Membacakan puisi, mendongeng, bercerita, atau bermain drama termasuk kegiatan berekspresi. Kegiatan semacam ini melatih kita untuk menumbuhkan kepekaan dalam menangkap nilai keindahan yang terkandung dalam karya sastra secara lisan. Puisi akan terasa lebih indah jika dibacakan dengan penghayatan dan eskpresi yang tepat. Demikian juga halnya dengan mendongeng, bercerita, atau bermain drama. Nilai-nilai dan pengalaman hidup yang terkandung dalam karya sastra jadi terkesan lebih indah dan menyentuh kepekaan estetik kita.
Ketiga, aktivitas berkreasi. Kegiatan ini berkaitan dengan aktivitas penciptaan dan/atau penulisan karya sastra dalam berbagai genre. Aktivitas bersastra acapkali dihubungkan dengan kata kreativitas. Hal ini didasari oleh lekatnya proses penciptaan sebuah karya sastra dengan kegiatan kreatif.
Upaya untuk mewujudkan idealisme pembelajaran sastra itu antara lain diperlukan perubahan paradigma pembelajaran sastra, baik secara teoretis-konseptual maupun segi teknis implementasinya, seperti metode, strategi, materi, langkah-langkah penyajian, media pembelajaran, evaluasi, dan lebih penting lagi tentang perumusan tujuan pengajaran. Keseluruhan komponen teknis tersebut haruslah didesain sedemikian rupa sehingga pembelajaran sastra yang sejatinya dapat menjadi sarana peningkatan daya nalar dan kreativitas siswa dapat diwujudkan.
Penutup
Pada hakikatnya setiap manusia memiliki potensi dasar dalam berkreasi di bidang sastra. Perbedaanya terletak pada tingkat kepekaan pribadi masing-masing. Yang paling besar pengaruhnya adalah faktor minat dan kesungguhan berlatih. Semakin besar minatnya dan semakin serius pula dalam berlatih menulis karya sastra, maka semakin besar pula tantangan-tantangan kreatif yang bisa dilaluinya. Para sastrawan besar pada umumnya lahir karena dukungan dua faktor tersebut. Dengan kata lain, kreativitas atau daya cipta seseorang dapat lahir setelah melalui berbagai tantangan yang dihadapinya, sehingga mampu melahirkan karya sastra yang memiliki nilai lebih. Secara khusus, kreativitas dalam mengakrabi sastra adalah kemampuan menemukan, membuat, merancang ulang, dan memadukan pengalaman masa silam dengan gagasan baru hingga berwujud sesuatu yang lebih baru.  
Bagaimana cara mendayagunakan imajinasi dalam karya sastra hingga mampu melahirkan karya-karya kreatif? Bisa jadi, kita memiliki cara yang berbeda-beda. Namun, secara umum, ketajaman berimajinasi diawali dari proses perenungan dengan melibatkan kekuatan batin kita di dalam mernafsirkan berbagai kenyataan hidup yang terjadi di sekeliling kita. Proses perenungan yang mendalam akan mendorong kita untuk melahirkan karya sastra yang lebih menyentuh dan mengharukan nurani, hingga mampu menawarkan pencerahan, kedalaman, kearifan pikiran, dan berbagai macam nilai.
Mengakrabi sastra merupakan aktivitas yang menarik dan menyenangkan. Dalam situasi seperti ini, bersastra menjadi penting dan bermakna. Bahasa sastra memiliki kekuatan luar biasa untuk mengekspresikan dunia imajinasi yang berada di balik kepala sang pengarang. Bahasa sastra yang ekspresif bisa membuat karya sastra selalu menarik untuk dibaca. Oleh karena itu menggauli karya sastra para pengarang yang sudah lebih dahulu lahir, memiliki banyak kemungkinan dalam membentuk imajinasi yang mampu mewakili pikiran dan perasaan pembacanya dalam menggunakan gaya bahasa sastra.
Selamat mengakrabi sastra! semoga kelak benar-benar menjadi generasi masa depan yang memiliki kemampuan melahirkan karya-karya sastra yang ekspresif!

Daftar Pustaka
Andre Hardjana. 1985. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Atar Semi, M. 1993. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya.                                                             Eagleton, Terry. (1987). Literary Theory, Minneapolis: University Of Minnesota Press.                              Olsen, Stein Haugen. (1985). The Structure of Literary Understanding. London: Cambridge University Press.
Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: Diponegoro
Sumardjo,  Jacob. 1995.  Sastra dan Massa.  Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Tarigan, Henry Guntur. 1995.  Dasar-dasar Psikosastra. Bandung: Angkasa                                 
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.