PEMAHAMAN GURU TERHADAP PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERDASARKAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP)

(Artikel yang dimuat dalam Jurnal Metamorfosis) 

 oleh: Diana Silaswati


Abstrak
Dewasa ini para tenaga kependidikan dituntut untuk mampu tampil ke depan sebagai pemrakarsa, perencana, pelaksana, pendorong, dan sekaligus pengemban hasil pembangunan. Artinya pada era peningkatan mutu Pendidikan harus didahului, disertai dan diikuti oleh tingkat kemampuan para tenaga kependidikan, sehingga dapat menjadi aparatur negara yang berdayaguna dan berhasilguna. Menyadari peran penting pendidikan, pemerintah terus berusaha meningkatkan mutu pendidikan. Bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya itu adalah penyempurnaan kurikulum. Guru memegang peranan yang sangat penting dalam sistem dan proses pendidikan manapun, termasuk implementasi kurikulum. Dengan diberlakukannya kurikulum tahun 2006, yang juga dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Guru diberi kebebasan mendesain pembelajaran sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah. Guru memegang peranan penting terhadap keberhasilan implementasi kurikulum baru tersebut, karena gurulah yang pada akhirnya akan melaksanakan kurikulum ini di dalam kelas, guru pulalah garda terdepan dalam implementasi kurikulum. Bagi guru bahasa kemampuan dasar yang dituntut sangat berat, karena dituntut pula memiliki keterampilan berbahasa sebab guru sering dijadikan contoh dalam pemakaian bahasa bagi para siswanya. Bagi guru, pembelajaran bahasa Indonesia merupakan suatu tantangan tersendiri, mengingat bahwa bahasa ini, bagi sebagian besar sekolah di Indonesia merupakan bahasa pengantar yang dipakai untuk menyampaikan materi pelajaran.
Kata kunci: Kurikulum, KTSP, peranan guru, peningkatan mutu pendidikan dan tenaga kependidikan, Pembelajaran bahasa Indonesia.


Pendahuluan
            Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang begitu pesat, sementara di sisi lain prioritas kebijakan nasional ikut berubah, begitu pula pola pembiayaan pendidikan serta kondisi sosial, termasuk perubahan pada tuntutan profesi serta kebutuhan dan keinginan pelanggan.
Tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang andal sangat dibutuhkan bagi kemajuan sebuah bangsa, yang antara lain dicoraki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat tersebut. Bangsa yang tidak menguasai iptek atau tertinggal dalam bidang ini akan terlibas dalam percaturan antar bangsa yang sangat kompetitif. Sumber daya manusia memiliki hubungan yang erat dengan iptek. Dengan penguasaan iptek diharapkan muncul SDM yang berkualitas, sebaliknya, dengan SDM yang unggul, iptek akan makin berkembang. Bertalian dengan itu, peran pendidikan menjadi makin penting dan menentukan sebab dengan pendidikanlah iptek dapat dikuasai. Tersedianya SDM yang berkualitas sangat bergantung pada mutu lembaga pendidikan yang dimiliki.
Kurikulum merupakan pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu yang berupa seperangkat rencana dan pengaturan tujuan, isi, cara dan bahan pelajaran. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional   yang memperhatikan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan, dan peserta didik. Hal tersebut mengamanatkan kurikulum disusun oleh satuan pendidikan sehingga memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada.
            Mulai tahun pelajaran 2006-2007, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) meluncurkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006.  KTSP  merupakan kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi dan karakteristik sekolah atau daerah, sosial budaya masyarakat setempat, serta karakteristik peserta didik. Kurikulum 2006 memberi keleluasaan penuh  pada setiap sekolah untuk mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar.
Namun, betapa pun baiknya kurikulum belum menjamin keberhasilan kegiatan pendidikan dan pengajaran. Ketersediaan guru yang mampu melaksanakan program pengajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum sangatlah besar peranannya dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang telah digariskan.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa bagaimanapun bagusnya suatu kurikulum, aktualisasinya sangat ditentukan oleh profesionalisme guru dalam melaksanakan pembelajaran dan pembentukkan kompetensi peserta didik.
Peranan penting guru dalam sistem pendidikan dan pengajaran di sekolah sangatlah jelas. Pentingnya guru dalam sistem pendidikan ditunjukkan oleh peranannya sebagai pihak yang harus mengorganisasi atau mengelola elemen-elemen lain seperti sistem kurikulum, sistem penyajian bahan pelajaran, sistem administrasi, dan sistem evaluasi. Dari berbagai peranan itu, nyata sekali bahwa gurulah pihak yang paling bertanggung jawab bagi keefektifan Kegiatan Belajar Mengajar di kelas.
Peranan penting guru juga dikemukakan oleh Fuller. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, dilaporkannya bahwa guru merupakan faktor determinan penyebab rendahnya mutu pendidikan di suatu sekolah. Begitu pula penelitian yang dilakukan International Association for the Evaluation of Education Achievement menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara tingkat penguasaan guru terhadap bahan yang diajarkan dengan pencapaian prestasi para siswanya (Harras, 1994).

Landasan Pengembangan KTSP
            Setiap ada kebijakan pergantian kurikulum, dunia pendidikan disibukkan dengan berbagai kegiatan ilmiah. Namun, kegiatan itu tidak membawa pencerahan bagi guru, sebaliknya justru membawa frustrasi karena membingungkan.
Dari sisi kondisi geografis, kondisi tanah air kita tergolong kurang mendukung dilaksanakannya pergantian kurikulum secara cepat. Mengapa? Karena sistem informasi yang semodern apa pun realitasnya sulit untuk menembus kendala geografis yang tajam. Sekolah-sekolah yang ada di pelosok,  di pegunungan, di tengah laut, dan sebagainya, sangat sering menerima informasi yang terlambat. Dalam hal informasi kurikulum, kiranya juga mengalami nasib yang sama.
Lahirnya KTSP seakan menjawab pertanyaan masyarakat pendidikan terhadap nasib kurikulum 2004 alias Kurikulum Berbasis Kompetensi yang tak kunjung disahkan oleh pemerintah, meskipun sudah melalui serangkaian uji coba di beberapa sekolah.
Pertanyaan besar sekarang adalah apakah dengan ditetapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan alias kurikulum sekolah mampu mendongkrak mutu pendidikan Indonesia yang dianggap masih rendah?
Pemerintah terlalu yakin dengan menetapkan kurikulum baru yang akan serta-merta dapat mendongkrak mutu pendidikan di Tanah Air.  Pemerintah seakan lupa bahwa banyak variabel lain yang berkaitan dengan mutu pendidikan. Pemerintah bahkan bisa disebut terlalu tergesa-gesa menetapkan kurikulum baru, sementara  di sisi lain komponen pendukung keberhasilan implementasi kurikulum baru kurang diperhatikan. Seharusnya, sebelum kurikulum baru ditetapkan, pemerintah menyiapkan komponen pendukung keberhasilan implementasi kurikulum.
Sebaik apapun kurikulum dan sistem pendidikan yang ada, tanpa  didukung mutu guru yang memenuhi syarat maka semuanya akan sia-sia. Peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia tidak cukup dengan pembenahan di bidang kurikulum saja, tetapi harus juga diikuti dengan peningkatan mutu guru di jenjang tingkat dasar dan menengah. Tanpa upaya meningkatkan mutu guru, semangat tersebut tidak akan mencapai harapan yang diinginkan.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah mengembangkan standar isi dan standar kompetensi lulusan yang merupakan acuan pokok bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum, kedua acuan pokok dalam menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan tersebut telah mulai diberlakukan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dan juga Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permen No. 22 dan 23 tahun 2006.
Pendidikan berisi suatu interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan tersebut dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, masyarakat, atau pun sekolah (Sukmadinata, 2006: 1). Berbeda dengan proses yang berlangsung di dua lingkungan pertama, pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih bersifat formal. Pendidikan formal memiliki kurikulum tertulis, dilaksanakan secara terjadwal, dan dalam suatu interaksi edukatif di bawah  arahan guru.
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan. Menurut pandangan lama, sebagaimana dikemukakan Zais (1976: 6), kurikulum merupakan kumpulan mata pelajaran atau bahan ajar, kemudian pandangan selanjutnya seperti dikemukakan Caswel dan Campbell dalam Sukmadinata, (2006) lebih menekankan kurikulum sebagai pengalaman. Ahli lain berpandangan bahwa kurikulum merupakan rencana pendidikan dan pengajaran. MacDonald (1965), seperti dikutip Sukmadinata (1988), menegaskan bahwa sistem persekolahan terbentuk atas empat subsistem, yaitu mengajar, belajar, pengajaran, dan kurikulum.
Meskipun banyak pandangan dikemukakan para ahli dalam bidang tersebut, umumnya sependapat bahwa kurikulum merupakan suatu alat yang penting dalam rangka merealisasikan dan mencapai tujuan pendidikan.          
Aje Toenlioe (2006) berpendapat tentang kurikulum dan pandangannya terhadap KTSP, bahwa Sebagai sistem, kurikulum memiliki komponen tujuan atau kompetensi, isi, strategi, dan evaluasi. Dalam suatu kurikulum, komponen-komponen sistem ini seharusnya memiliki keterkaitan logis, tetapi dapat terjadi entah karena ketidaktahuan atau ketidakmauan prinsip keterkaitan logis tersebut bisa terabaikan.  Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) merupakan contoh aktual terabaikannya prinsip keterkaitan logis tersebut. Sebagaimana sudah sering dikemukakan berbagai pihak, ketidaklogisan KTSP terjadi karena sekolah diberi kebebasan untuk mengelaborasi kurikulum inti yang dibuat pemerintah, tetapi evaluasi nasional oleh pemerintah melalui Ujian Nasional (UN) justru paling menentukan kelulusan siswa.
Dari Pandangan di atas dapat dikatakan bahwa jika KTSP memberi keleluasaan bagi otonomi sekolah di tingkat satuan pendidikan, seharusnya standar penilaian juga menjadi hak  otonom sekolah sebab merekalah yang menentukan indikator dan memilih proses serta materi melalui program belajar di kelas. Karena itu, Ujian  Nasional merupakan keputusan yang kontra produktif bagi peningkatan kualitas pembelajaran.
Tentu bukan pekerjaan mudah mengubah suatu kebiasaan atau kultur kerja, dari tergantung penuh pada "perintah atasan" menjadi sebuah tradisi baru yang berpijak pada kemandirian dan kreativitas, karena KTSP merupakan program pembaharuan kurikulum yang mencoba memberi ruang lebih luas bagi otonomi sekolah. Dengan demikian, sebagai titik awal yang kemudian menggelinding sebagai bola salju, dibutuhkan bangunan sistem di jajaran Depdiknas, dari pusat sampai daerah, yang lebih kondusif sehingga para guru mampu mengembangkan kurikulum sendiri.
Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
            Di dalam proses pengendalian mutu, kurikulum merupakan perangkat yang sangat penting karena menjadi dasar untuk menjamin kompetensi keluaran dari proses pendidikan. Kurikulum harus selalu diubah secara periodik untuk menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan pengguna dari waktu ke waktu.
Perubahan kurikulum dalam arti pengembangan, tentu akan berdampak terhadap kesiapan sekolah dan guru untuk mengimplementasikannya di depan kelas. Sebab, untuk melakukan perubahan, hal yang sangat mendasar dipahami oleh guru adalah pertama, pemahaman terhadap manajemen pengembangan kurikulum. Kedua, bagaimana menerapkan apa yang disebut total quality management (TQM) agar dapat memberikan jaminan mutu. Dengan begitu, tujuan untuk menghasilkan keluaran dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan konsumen melalui peningkatan dan perbaikan kualitas yang terus-menerus.
Guru mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan nasional, khususnya di bidang pendidikan, sehingga perlu dikembangkan sebagai tenaga profesi yang bermartabat dan profesional, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 tentang Guru dan Dosen Bab I Pasal 1 bahwa: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Selanjutnya dalam Bab II Pasal 2 diuraikan tentang kedudukan guru  sebagai berikut : (1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.  (2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Kemudian dalam pasal 4 diamanatkan bahwa ”Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.” Dan dalam penjelasan atas bab II pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tentang guru dan Dosen dijelaskan bahwa ”Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.”  Serta penjelasan bab II pasal 4 “Yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent)  adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.” 
Dari uraian undang-undang dan penjelasan atas pasal demi pasal tersebut di atas, jelaslah guru merupakan titik sentral dari peningkatan kualitas pendidikan yang bertumpu pada kualitas proses belajar mengajar. Guru profesional akan menghasilkan proses dan hasil pendidikan yang berkualitas dalam rangka mewujudkan manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Dalam rangka Peningkatan kemampuan profesional guru, bukan sekedar diarahkan kepada pembinaan  yang lebih bersifat aspek-aspek administratif kepegawaian tetapi harus lebih kepada peningkatan kemampuan keprofesionalannya dan komitmen sebagai seorang pendidik. Menurut Glickman (1991) guru profesional memiliki dua ciri yaitu tingkat kemampuan yang tinggi dan komitmen yang tinggi. Oleh sebab itu, pembinaan profesionalisme guru harus diarahkan pada dua hal tersebut.  Disamping itu profesi guru memiliki kepentingan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas sumber daya  manusia dan merupakan suatu pekerjaan yang memerlukan kecakapan intelektual yang tinggi.
Sertifikasi dan uji kompetensi secara berkala perlu dilakukan agar  kinerja guru terus meningkat dan tetap memenuhi syarat profesional. Di masa depan, profil kelayakan guru  akan ditekankan pada aspek-aspek kemampuan membelajarkan siswa, dimulai dari menganalisis, merancang, mengembangkan, mengimplementasikan, dan menilai pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan, karena bagaimanapun pendidikan menempati peran yang semakin strategis dalam upaya pembangunan nasional yang sedang kita laksanakan
Profesionalisme guru sangat menentukan keberhasilan belajar siswa. Menurut Hamalik (1999), profil kemampuan dasar guru mencakupi: (1) kemampuan menguasai bahan, (2) kemampuan mengelola program belajar-mengajar, (3) kemampuan mengelola kelas, (4) kemampuan menggunakan media dan sumber; (5) kemampuan menguasai landasan pendidikan, (6) kemampuan menilai prestasi belajar siswa, (7) kemampuan mengelola interaksi belajar-mengajar, dan sebagainya.
Akan tetapi bagi guru bahasa Indonesia kemampuan dasar yang dituntut di atas belumlah cukup, guru dituntut pula memiliki keterampilan berbahasa sebab guru sering dijadikan contoh dalam pemakaian bahasa bagi para siswanya. Dalam hubungan ini, Lado (1979) mengemukakan bahwa guru bahasa dituntut memiliki kemahiran berbahasa, pengetahuan bahasa, pemahaman budaya, dan pemahaman tentang teknik  pengajaran  bahasa.

Pembelajaran Bahasa Indonesia
           Berkenaan dengan pembelajaran kebahasaan, dalam Buku Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar dikemukakan beberapa alternatif, yang antara lain ditegaskan bahwa pelatihan kebahasaan berlangsung secara berjenjang dengan runtun kegiatan prakomunikasi dan barulah kegiatan komunikasi (Depdikbud, 1993). Sarwiji (1996) dalam penelitiannya tentang kesiapan guru bahasa Indonesia dalam melaksanakan Kurikulum berbasis kompetensi menemukan bahwa kemampuan mereka masih kurang. Kekurangan itu, antara lain, pada pemahaman tujuan pengajaran, kemampuan mengembangkan program pengajaran, dan penyusunan serta penyelenggaraan tes hasil belajar.
Keefektifan pembelajaran bahasa yang menekankan pada fungsi bahasa sangat ditentukan oleh guru. Guru dituntut mampu menerapkan pendekatan komunikatif sebagaimana dituntut oleh Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.  Pendekatan komunikatif, menurut Littlewood (1981: 1), adalah pendekatan yang mengintegrasikan pengajaran fungsi-fungsi bahasa dan tata bahasa. Dijelaskannya bahwa pembelajaran bahasa yang komunikatif memberikan perhatian yang sistematik pada aspek-aspek fungsional dan struktural dari bahasa untuk kemudian menggabungkannya menjadi suatu pandangan komunikatif yang lengkap. Pandangan struktural dari bahasa memusatkan perhatiannya pada sistem tata bahasa, sedangkan pandangan fungsional memusatkan perhatiannya pada makna yang dikandung oleh bentuk-bentuk linguistik.
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik dan merupakan penunjang keberhasilan dalam mempelajari semua bidang studi. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya, dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif yang  ada  dalam  dirinya.
Pembelajaran bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai sarana untuk membantu peserta didik mengemukakan gagasan dan perasaan, berpatisipasi dalam masyarakat dengan menggunakan bahasa tersebut, dan menumbuhkan serta menggunakan kemampuan analitis dan imajinatif. Tantangan guru tidak hanya mengajarkan bahasa Indonesia untuk mengarahkan peningkatan kemampuan berbahasa, tetapi juga membentuk sikap mereka terhadap bahasa Indonesia, untuk itu diperlukan strategi guru dalam mengajarkan bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, guru sudah bukan saatnya lagi memaksakan pengetahuan kepada siswa. Model pembelajaranseperti itu menempatkan siswa hanya sebagai obyek. Siswa tidak dihargai sebagai individu yang sedang belajar dan membutuhkan bimbingan untuk mengembangkan potensinya, baik potensi intelektual maupun kepribadiannya.
            Guru sudah saatnya meninggalkan model pembelajaran yang menggunakan cara-cara instan. Model pembelajaran dengan sistem drill, yang mengharapkan hasil bagus dengan cepat tanpa mengindahkan prosedur pembelajaran yang semestinya, sesungguhnya bersifat intimidatif. Bagaimana tidak meng- ’intimidasi’ bila siswa senantiasa dihadapkan pada keharusan meraih minimal ’nilai tertentu’ yang menjadi standar kelulusan atau kenaikan kelas? Akibatnya, siswa mengikuti pembelajaran di bawah bayang-bayang ancaman dan ketakutan ’tidak naik kelas atau tidak lulus ujian’ jika tidak dapat menyerap atau menguasai materi pelajaran (lebih tepatnya: menghafal), yang akan dibuktikan dengan ulangan/tes/ujian.
          Yang dimaksud dengan pembelajaran bahasa Indonesia, lebih spesifik ditekankan dalam KTSP  bahwa belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tertulis. serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan manusia Indonesia.  
            Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespon situasi lokal, regional, nasional, dan global. Dengan standar kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia ini diharapkan: (1) Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan penghargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri; (2) Guru dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa dan sumber belajar;  (3) Guru lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya; (4) Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah; (5) Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia; (6) Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.
Mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan:(1) Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; (2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara; (3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; (4) Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan  intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; (5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; (6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Ruang lingkup mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup komponen kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek-aspek mendengarkan, berbicara, membaca, serta menulis.  
           Pemahaman guru terhadap pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) merupakan implementasi atau penerapan konsep-konsep KTSP oleh guru-guru dalam kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia.
Simpulan
            Guru memegang peranan penting dalam sistem dan proses pendidikan manapun,  kendati dewasa ini konsep Student centered learning atau berpusat pada peserta didik telah banyak dikumandangkan dan dilaksanakan dalam proses belajar-mengajar di sekolah dan juga dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru tetap menempati kedudukannya tersendiri. Hal itu sejalan dengan pendapat Hamalik (1999) yang menyatakan bahwa siswa hanya mungkin belajar dengan baik jika guru telah mempersiapkan lingkungan positif bagi siswa untuk belajar.
Kurikulum bukanlah sesuatu yang asing bagi guru, sebab mereka sudah biasa bergelut dengan beragam kurikulum yang dari tahun ke tahun selalu  mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan itu sendiri. Akan tetapi sebagai suatu yang disosialisasikan, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tentulah merupakan suatu komponen yang belum dipahami benar oleh guru. Sebab dalam implementasinya KTSP memperkenalkan administrasi-administrasi pengajar yang sedikit berbeda dengan yang sudah biasa dikerjakan oleh para guru sebelumnya.  
Sudah rahasia umum, pendidikan keguruan di negeri ini tidak pernah menyiapkan guru dan sekolah menjadi pengembang kurikulum, sementara dalam Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan guru harus mampu menafsirkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang menjadi indikator dan materi pembelajaran sekaligus menentukan sendiri metodologi didaktisnya agar tercipta harmoni pembelajaran yang efektif dan efisien.
            Keberhasilan dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembelajaran bahasa Indonesia ditentukan oleh kesiapan dan kreativitas guru dalam mengajar terutama aspek pemahaman dan penggunaan kurikulum bahasa Indonesia  oleh guru, terdapatnya iklim belajar yang kondusif, serta guru cukup memahami prinsip-prinsip pembelajaran bahasa dengan baik dan selalu berlatih menggunakan bahasa Indonesia baik secara reseptif maupun ekspresif.

Daftar Pustaka

Badan Standar Nasional Pendidikan. (2006). Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas, (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional  No:22 tahun 2006, tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: Depdiknas.
--------------, (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional  No: 23 tahun 2006, tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: Depdiknas.
--------------, (2006). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional  No: 24 tahun 2006, tentang Pelaksanaan standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: Depdiknas      
--------------, (2005). Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.  Jakarta: Cipta Jaya.
--------------, (2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Jakarta: Fokusmedia.
Hamalik, Oemar. (1999).  Kurikulum dan PembelajaranJakarta: Bumi Aksara.
Hidayat Kosadi, Burhan Jazir dan Misdan Undang. (2000) Strategi Belajar Mengajar Bahasa IndonesiaBandung: Bina Cipta.
Lado, Robert. (1979). Language Teaching: A Scientific Approach. New Delhi: Tata McGraw-Hill.
Masnur, Hasanah Nur., dan Saliwangi. B. (1987). Dasar-Dasar Interaksi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia.  Bandung: Jemmars.
Mulyasa, E. (2006).  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nurgiyantoro, Burhan. (2001). Penilaian Dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
Sriyanto, H.J. (2006, 4 Desember). Siapa Bilang Jadi Guru itu Gampang. Kompas [Online]  Tersedia: http://www.[kompas.com]
Subana dan Sunarti. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia: Berbagai Pendekatan, Metode Teknik dan Media Pengajaran. Bandung: Pustaka Setia. 
Sukmadinata, Nana Syaodih. (2000) Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik.  Bandung: Remaja Rosdakarya,
Sukmadinata, Nana Syaodih, Jami’at, A.N. dan Ahman. (2006). Pengendalian Mutu Pendidikan Sekolah Menengah: Konsep, Prinsip, dan Instrumen. Bandung: Refika Aditama.
Supriadi, D. (1994). Kreativitas, Kebudayaan & Perkembangan Iptek. Bandung: Alfabeta. 
Susilo, M.Joko. (2007). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suyatno. (2004). Teknik Pembelajaran
Bahasa dan Sastra. Surabaya: SIC.
Tarigan, Djago., dan Tarigan, Henry Guntur. (1986). Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. (1993). Prinsip-Prinsip Dasar Metode Riset Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. Bandung: Angkasa
Tarigan, Henry Guntur. (1993). Strategi Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa. Bandung: Angkasa.